Diperlakukan Kejam, TKI Cirebon Gugat Diplomat Saudi di Swiss

Menang di Pengadilan, Majikan Didenda Rp 791 Juta
Karena tak tahan diperlakukan bak binatang, Samiah Dulkarim lari dari rumah majikannya, seorang diplomat Arab Saudi yang bekerja di Konjen Saudi di Jenewa. Samiah lalu menggugat majikannya itu. Dan oleh pengadilan, dia dimenangkan.
  —————————— —
  Laporan: Djoko Susilo, Dubes RI di Bern, Swiss
  ——————
Beberapa hari terakhir ini media massa Swiss memuat berita menghebohkan soal “perbudakan”. Le Matin, sebuah harian yang terbit di Lausanne, memuat berita perlakuan tidak wajar terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Cirebon, Samiah Dulkarim, yang bekerja di rumah seorang diplomat Arab Saudi Nabil Mohammad al Saleh yang bekerja di Konjen Saudi di Jenewa.
Koran berbahasa Prancis di Swiss itu memberikan judul besar, J?ai ete traite comme un Esclave (Saya Diberlakukan seperti Budak) di halaman pertama. Sedangkan koran beroplah besar berbahasa Jerman, 20 Minuten, menurunkan artikel berjudul Saudischer Generalkonsul Zahlte zu Wenig (Konsul Saudi Menggaji Murah).
Pangkal permasalahannya adalah soal rendahnya gaji Samiah. Dia sebulan hanya menerima gaji 290 franks Swiss (CHF) atau setara Rp 2,95 juta. Gaji tersebut dengan 16 jam kerja setiap hari tanpa istirahat dan sebulan penuh tanpa libur. Padahal, di Swiss ada peraturan upah minimum (UMR) 28 CHF per jam (dengan masa kerja maksimal delapan jam perhari). Jadi, semestinya gaji Samiah itu hanya untuk sehari kerja. Tapi, kenyataannya, dia bertahun-tahun digaji secara tidak wajar. Sekalipun bekerja untuk keluarga diplomat, majikan tetap harus memenuhi ketentuan tersebut.
Dalam catatan KBRI, Samiah pernah melapor pada 2007. Dia datang dengan kawalan petugas Saudi dan tampak tertekan. Paspor Samiah yang dikeluarkan KBRI Bern berakhir Desember 2012. Pihak Konsuler KBRI Bern langsung bergerak untuk memberikan perlindungan bagi Samiah, termasuk jika keluarganya akan bertemu dengannya di Jenewa. Samiah sendiri sudah mendapatkan izin tinggal dan kerja secara legal dari pemerintah Swiss.
Berikut penuturan Samiah sebagaimana diceriterakan kepada koran Le Matin:
“Selama saya bekerja, majikan saya dan keluarganya selalu menghina saya. Bahkan, tiga anak mereka suka memukul dan meludahi saya. Tugas kami di sana adalah membersihkan, memasak, mencuci, semua pekerjaan rumah tangga. Namun, banyaknya pekerjaan tersebut jelas terlalu banyak jika hanya dikerjakan oleh dua orang.”
Hidup Samiah dan adik perempuannya, Odotul, selama dua tahun amat berat setelah menjadi TKI di Saudi. Keduanya berangkat dengan menggunakan sebuah agen PJTKI di Pulau Jawa. Si agen itu pun dulu pernah bekerja dengan diplomat yang sama di Konsul Saudi untuk PBB di Jenewa. Saat ditanya bagaimana pengalaman bekerja di konsul tersebut, dia hanya menangis.
Samiah dan adiknya bekerja selama 16 jam per hari, tujuh hari seminggu, dan 365 hari per tahun dengan gaji 290 CHF per bulan. Jumlah yang tidak masuk akal karena ditukar dari mata uang riyal.
Samiah jarang keluar rumah majikannya yang megah di Route de Cologny. Jika keluar, dia selalu dikawal dan diawasi. “Saya diperlakukan sebagai budak.” Demikian ungkapan perempuan berusia 28 tahun itu.
“Selama ini konsul menyita paspor kami,” kata dia.
Yang ironis dari kasus itu, konsul tersebut adalah seorang anggota Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) di PBB.
Dalam persidangan pada Selasa (20/9), Pengadilan Federal menolak permohonan banding pihak tergugat (Nabil). Hakim pun menjatuhkan hukuman denda kepada Nabil untuk membayar kekurangan gaji Samiah senilai 78.000 CHF atau setara Rp 791.408.574.
Samiah lantas membeber kronologi kabur dari rumah majikannya pada Agustus 2007. Saat itu, sekitar pukul 07.00, dia mengajak adiknya, Odotul, diam-diam keluar dari rumah saat sang majikan terlelap tidur.
Saat melewati pagar, petugas mencegat dan bertanya kepada Samiah soal alasannya keluar rumah pagi-pagi. Samiah lantas menjawab, hari itu merupakan hari ulang tahun majikannya dan mereka ingin mencarikan hadiah di Coop, sebuah supermarket terkenal di Swiss. Samiah akhirnya diizinkan keluar rumah.
Setelah jauh dari rumah majikan, Samiah dan adiknya duduk-duduk di pinggiran Danau Lac Leman. Nah, keberadaan mereka menarik perhatian dua polisi Swiss yang berpatroli. Polisi lantas menghampiri Samiah dan Odotul. Dengan bahasa Inggris yang minim, Samiah mengadukan perlakuan majikannya kepada dua polisi tersebut. Polisi langsung mengerti itu karena perlakuan buruk majikan asal Timur Tengah bukan sesuatu yang asing lagi di Swiss.
Sebuah LSM Swiss, Sindikat Sans Frontiere, yang kusus menangani kasus buruh migran menindaklanjuti pengaduan Samiah. LSM tersebut lantas mengadvokasi Samiah dengan mengajukan gugatan di pengadilan.
Saat ini Samiah memegang paspor Indonesia sendiri dan hidupnya seperti di dalam mimpi. Paspor tersebut dibikin pada 2006 dan akan berakhir 2011. KBRI Bern siap memberikan bantuan semaksimal mungkin, baik untuk perpanjangan paspor maupun jika Samiah memutuskan pulang kembali ke Cirebon.
Samiah kini melanjutkan pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga di tempat lain dengan gaji 3465 CHF per bulan dan belajar bahasa Prancis di lembaga kursus bahasa Manor. Pada hari libur, Samiah boleh berjalan-jalan di Swiss. Sedangkan Odotul telah pulang ke tanah air dan menjaga orang tuanya yang sakit-sakitan di Cirebon.
Samiah telah mengantongi izin bekerja di Swiss. Pengacara Samiah juga sangat senang bisa memenangi kasusnya. Melalui pengacaranya, Samiah kini juga mendapat seorang pacar yang kabarnya orang Portugal.
Di dalam interview-nya, kalimat yang diucapkan terakhir oleh Samiah adalah, “Tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang patut diperlakukan seperti saya.” (jpnn)


Sumber

0 comments: