Surat Cinta yang Terbakar
Oleh JEMIE SIMATUPANG
Cerita Cerita Inspiratif dan Motivasi
YANG MANA HIDUP ini sebenarnya sederhana saja. Simpel. Yang mana seperti ditulis Pramoedya A. Toer satu kali dalam bukunya—yang saya pinjam dari seorang mahasiswa yang mana kalau nanti ada kesempatan saya sebutkan namanya—bahwa manusialah yang akhirnya membuatnya menjadi kompleks. Ribet. Dan akhirnya manusia kesusahan menjalani hidupnya—bahkan yang mana dia telah bertumpuk harta benda juga kekuasaan.
“Bahkan hidup itu lebih susah dari sekedar selembar surat cinta,” kata saya, “Surat cinta yang akan saya ceritakan nanti.”
Kalau saya ya tidak. Yang mana saya seorang tukang becak, maka saya jalani saja hidup sebagai tukang becak. Tak ada yang saya risaukan. Yang mana ada banyak penumpang, saya dan isteri, yang mana nanti saya sebutkan namanya, makan lebih enak dibanding kalau tak ada yang menumpang becak saya. Bahkan, kalau tak ada, kami sudah biasa berpuasa.
“Hidup itu hanya numpang ngombe atau kalau tidak suka hanya numpang naik becak yang mana kalau tak suka juga: ya sekedar numpang ketawa,” gitulah falsafah hidup saya.
Oya, sebelum saya menulis lebih berpanjang lebar, perlu juga saya informasikan di sini nama saya Kasmin. Orang lebih mengenal saya sebagai Bang Kasmin Becak. Benar, saya, Kasmin memang tukang becak. Tukang becak sejak lajangnya, sejak lagi masih berpacaran dengan isteri saya sekarang.
Ingat isteri, ingat lagi dengan surat cinta yang mana tadi saya janjikan akan diceritakan. Karena belum pernah mengirimkan surat cinta kepadanya, yang mana karena memang saya tak bisa menulis sebelumnya—saya diajarkan membaca, menulis, dan berhitung yang mana orang suka singkat menjadi “calistung” oleh mahasiswa yang meminjamkan saya buku Pram tadi, yang mana ia bernama: Sania, yang mana saya sangat berterimakasih kepadanya. Sekarang saya ingin sekali menuliskan surat saya kepada isteri saya yang tercinta itu, yang walaupun kami sudah sama-sama menjelang lima puluh, tapi tak luntur cinta saya kepadanya, malah bertambah-tambah seperti bertambahnya uban yang bertabur di kepala kami masing-masing.
Butet, isteri saya yang tercinta, inilah surat cinta saya yang pertama.
Yang mana teruntuk
Kekasihku, pujaan hatiku,
Butet
Di gubuk cinta kita,
Salam kasih-sayang selalu,
Butet,
Yang mana ini adalah surat cinta pertama saya untuk kau. Semoga tak kecil hatimu, walaupun sudah lebih dari 30 tahun kita jalani rumah tangga baru sekaranglah abang bisa tulis surat kepadamu.
Saya teringat waktu pertama kali kita berjumpa. Saya lupa tanggal bahkan harinya. Waktu itu kau suka menumpang di atas becak saya manakala pulang dari kerja. Kau dulu kerja di pabrik biskuit yang dekat amplas itu kan?
Ya, pasti saya tak salah ingat.
Yang mana waktu itu saya suka tolak ongkos yang butet berikan. Hm, bukan karena tak butuh uang, karena yang mana saya menaruh hati padamu. Tapi yang mana saya tak berani katakan kepadamu, entah apa namanya, tapi tiap kali saya mau ngomong yang serius, soal mengutarakan isi hati saya, yang mana dada saya jadi berdebar kencang, lidah saya kelu, dan saya tak bisa bilang apa-apa, selain: “sampai jumpa besok, tet!” lalu saya berbalik ke tempat saya mangkal meninggalkanmu di depan rumahmu.
Butet,
Yang mana akhirnya kita menikah juga. Saya tak sempat bilang cinta waktu itu, yang mana mungkin karena kita sama-sama tahu saja. Akhirnya saya putuskan untuk kirim utusan ke rumahmu untuk lamarkan dirimu pada orang tuamu. Tak terlalu ribet. “Kalau udah saling cinta, mau apa lagi,” kata orang tuamu waktu itu sebagai diceritakan utusan yang saya kirim kepada saya.
Kita menikah. Dan sekarang sudah lebih dari 30 tahun. Hm, tak apa kita tak punya anak, dan saya tak cari gara-gara juga untuk menikah dengan orang lain. Tak lain karena memang saya sangat-sangat cinta kepada Butet. Terlebih karena kesetiaanmu menjalani hidup dengan saya yang tukang becak dan sampai sekarang belum bisa memberikan rumah yang nyaman kepadamu, selain gubuk yang kita buat bersama di pinggir Sungai Deli ini—sungai yang dulu bisa dilayari oleh kapal sekarang tak lebih dari parit busuk yang penuh sampah saja.
Dan sama kita, sungai itu adalah rejeki juga, yang mana kita bisa mandi karenanya, menyuci pakaian, dan tentu juga buang hajat. Dan tentu saja kalau malam, kita bisa menghabiskan waktu bersama-sama di dalam rumah sambil mendengarkan gemericik airnya.
Saya juga suka merasa bersalah, yang mana saya tak bisa memberikan kebahagian padamu, hidup kita kok ya begini-begini saja dari dulu, bahkan tambah parah ketika kau terpaksa keluar dari pabrik karena alasan krisis pada 1998 yang lalu—tanpa wang pesangon.
Yah, karenanya kau terpaksa kau ambil upahan nyuci pada tetangga-tetangga kita.
Butet,
Saya tak bisa bilang apa-apa, ketika kau pergi pagi-pagi ke pajak (pasar), sebelum lagi saya bangun, dan pulang-pulang membawa kepala ikan tongkol. Ketika saya mau berangkat membecak, nasi hangat + gulai kepala tongkol sudah ada. Ketika satu kali saya bilang, “Enak ini Tet, tiap hari awak kena tongkol!” kau bilang sambil tersenyum-senyum, “Syukurlah, Bang! Tongkol itulah yang gratis di pajak, tapi harus subuh-subuh mengambilnya, sebelum dibuang mereka untuk mengumpani babi,”
Saya hampir tersedak. Bukan karena tak selera. Tapi karena sampai segitulah pengorbananmu pada rumah tangga kita.
Tet,
Saya tak bisa berlama-lama, berpanjang-panjang dengan surat cinta saya yang pertama ini, walaupun mestinya masih banyak cerita yang bisa saya ceritakan—pengalaman kita bersama selama ini. Ada penumpang yang minta diantarkan ke pajak. Langganan saya.
Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan.
Mesjid Raya Medan, 18 Juli 2011
Suamimu,
Bang Kasmin
Yang mana begitulah surat cinta saya yang pertama untuk isteri saya, yang mana telah saya kirimkan dengan meletakkannya dekat dapur di atas meja tempat meletakan bumbu-bumbu dapur—dekat tungku tempat ia menanak nasi. Yang mana setelah itu saya pun berangkat kerja, sebelum Butet pulang dari pajak, yang mana hari itu memang saya harus pergi cepat, karena ada langganan yang minta diantarkan ke pajak sambas, pagi-pagi benar.
Ketika menjelang maghrib yang mendung, saya pulang ke gubuk kami. Saya lihat isteri saya menyambut dengan senyum terindahnya. Saya menduga pastilah dia telah membaca surat cinta saya itu. Apalagi ketika masuk saya langsung disuguhin secangkir kopi.
“Minumlah, Bang! Biar hangat badanmu,” katanya.
“Makasih, Tet! Baik kali isteri awak ini,” kata saya.
“Alah abang ini!” katanya.
Butet lalu pergi ke dapur, menyiapkan segala sesuatu untuk makan malam kami. Saya menyusul, pura-pura membantu, membuka bungkus Indomie rasa kari ayam, dan mematah empat isinya, padahal niat saya mau bertanya, bagaimana tanggapannya terhadap surat cinta saya—dan apakah sudah ada balasannya.
“Tet, sudah kau baca surat cinta awak?”
“Surat cinta!?”
“Ya. Surat. Surat cinta awak untuk butet!”
“Kemasukan apanya kau, bang!” kata butet tak percaya, karena memang ngapain pulak saya harus mengirimkan surat cinta lagi, tokh mereka sudah menikah sejak—sebagai cerita-cerita dongeng—dulu kala.
“Sadar awak, Tet! Tadi suratnya saya letakkan di sini,” kata saya menunjukkan meja di sebelah tungku.
“Bah, itu surat cinta yang abang bilang?”
“Iya itulah! Cemana menurutmu?”
“Sudah awak bakar bang, bukan tak suka, tapi karena awak tak tahu itu surat cinta abang, saya bikin pemancing api untuk menjerang air tadi pagi,” kata isteri saya, sekarang dengan wajah agak cemas.
“Owalah, Tet!”
Saya tak marah. Tapi malah berpikir menyalahkan diri sendiri, yang mana kok saya surprise-suprisan. Surat itu sekarang sudah jadi abu. Yang mana isteri saya telah menyulutnya bersama kayu api. Yang mana juga karena ia sudah tak lagi pakai kompor minyak tanah, karena barang yang saya sebut terakhir sudah mahal harganya. Yang mana juga kami tak dapat kompor gas konversi dari kelurahan, yang mana kami tak terdaftar. Jadilah Butet tiap hari mengumpulkan kayu yang hanyut di Sungai Deli, menjemurnya, dan menggunakannya sebagai kayu bakar. Dan sebagai pemancing api, Butet memang biasa menggunakan kertas, dan pagi tadi, surat cinta saya itu lah yang dekat dari jangkauannya sebagai pengumpan api untuk menjerang air.
“Maaf ya, bang!” kata Butet sambil memasukan indomie ke kuali.
“Tak apa, Tet!”
Malam itu kami makan Indomie pake telor. Sedap. Apalagi setelah sebulan makan kepala tongkol melulu. Saya sampai tambuh nasi tiga kali. Kekenyangan. Setelah menghabiskan sebatang gudang garam merah sambil bercerita-cerita, kami pun siap-siap tidur di atas tikar di dalam kelambu.
“Tak marah abang kan soal surat tadi?” kata isteri saya sambil memeluk dari belakang.
“Tidaklah,” kata saya membalikkan badan dan kini membalas memeluknya. Yang mana juga mencium keningnya.
Kami kembali seperti muda lagi. Hujan rintik dari langit Medan. Air Sungai Deli semakin jelas terdengar—mengalir sampai ke Belawan. Dalam pelukannya, saya sadar kembali: Isteri saya memang tak butuh hidup yang rumit, cinta yang rumit, bahkan tak butuh surat cinta!
Hujan semakin deras di luar. Semoga Deli tak banjir. Biar keringat kami saja yang banjir malam itu. [*]
JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.
Sumber
Cerita Cerita Inspiratif dan Motivasi
YANG MANA HIDUP ini sebenarnya sederhana saja. Simpel. Yang mana seperti ditulis Pramoedya A. Toer satu kali dalam bukunya—yang saya pinjam dari seorang mahasiswa yang mana kalau nanti ada kesempatan saya sebutkan namanya—bahwa manusialah yang akhirnya membuatnya menjadi kompleks. Ribet. Dan akhirnya manusia kesusahan menjalani hidupnya—bahkan yang mana dia telah bertumpuk harta benda juga kekuasaan.
“Bahkan hidup itu lebih susah dari sekedar selembar surat cinta,” kata saya, “Surat cinta yang akan saya ceritakan nanti.”
Kalau saya ya tidak. Yang mana saya seorang tukang becak, maka saya jalani saja hidup sebagai tukang becak. Tak ada yang saya risaukan. Yang mana ada banyak penumpang, saya dan isteri, yang mana nanti saya sebutkan namanya, makan lebih enak dibanding kalau tak ada yang menumpang becak saya. Bahkan, kalau tak ada, kami sudah biasa berpuasa.
“Hidup itu hanya numpang ngombe atau kalau tidak suka hanya numpang naik becak yang mana kalau tak suka juga: ya sekedar numpang ketawa,” gitulah falsafah hidup saya.
Oya, sebelum saya menulis lebih berpanjang lebar, perlu juga saya informasikan di sini nama saya Kasmin. Orang lebih mengenal saya sebagai Bang Kasmin Becak. Benar, saya, Kasmin memang tukang becak. Tukang becak sejak lajangnya, sejak lagi masih berpacaran dengan isteri saya sekarang.
Ingat isteri, ingat lagi dengan surat cinta yang mana tadi saya janjikan akan diceritakan. Karena belum pernah mengirimkan surat cinta kepadanya, yang mana karena memang saya tak bisa menulis sebelumnya—saya diajarkan membaca, menulis, dan berhitung yang mana orang suka singkat menjadi “calistung” oleh mahasiswa yang meminjamkan saya buku Pram tadi, yang mana ia bernama: Sania, yang mana saya sangat berterimakasih kepadanya. Sekarang saya ingin sekali menuliskan surat saya kepada isteri saya yang tercinta itu, yang walaupun kami sudah sama-sama menjelang lima puluh, tapi tak luntur cinta saya kepadanya, malah bertambah-tambah seperti bertambahnya uban yang bertabur di kepala kami masing-masing.
Butet, isteri saya yang tercinta, inilah surat cinta saya yang pertama.
Yang mana teruntuk
Kekasihku, pujaan hatiku,
Butet
Di gubuk cinta kita,
Salam kasih-sayang selalu,
Butet,
Yang mana ini adalah surat cinta pertama saya untuk kau. Semoga tak kecil hatimu, walaupun sudah lebih dari 30 tahun kita jalani rumah tangga baru sekaranglah abang bisa tulis surat kepadamu.
Saya teringat waktu pertama kali kita berjumpa. Saya lupa tanggal bahkan harinya. Waktu itu kau suka menumpang di atas becak saya manakala pulang dari kerja. Kau dulu kerja di pabrik biskuit yang dekat amplas itu kan?
Ya, pasti saya tak salah ingat.
Yang mana waktu itu saya suka tolak ongkos yang butet berikan. Hm, bukan karena tak butuh uang, karena yang mana saya menaruh hati padamu. Tapi yang mana saya tak berani katakan kepadamu, entah apa namanya, tapi tiap kali saya mau ngomong yang serius, soal mengutarakan isi hati saya, yang mana dada saya jadi berdebar kencang, lidah saya kelu, dan saya tak bisa bilang apa-apa, selain: “sampai jumpa besok, tet!” lalu saya berbalik ke tempat saya mangkal meninggalkanmu di depan rumahmu.
Butet,
Yang mana akhirnya kita menikah juga. Saya tak sempat bilang cinta waktu itu, yang mana mungkin karena kita sama-sama tahu saja. Akhirnya saya putuskan untuk kirim utusan ke rumahmu untuk lamarkan dirimu pada orang tuamu. Tak terlalu ribet. “Kalau udah saling cinta, mau apa lagi,” kata orang tuamu waktu itu sebagai diceritakan utusan yang saya kirim kepada saya.
Kita menikah. Dan sekarang sudah lebih dari 30 tahun. Hm, tak apa kita tak punya anak, dan saya tak cari gara-gara juga untuk menikah dengan orang lain. Tak lain karena memang saya sangat-sangat cinta kepada Butet. Terlebih karena kesetiaanmu menjalani hidup dengan saya yang tukang becak dan sampai sekarang belum bisa memberikan rumah yang nyaman kepadamu, selain gubuk yang kita buat bersama di pinggir Sungai Deli ini—sungai yang dulu bisa dilayari oleh kapal sekarang tak lebih dari parit busuk yang penuh sampah saja.
Dan sama kita, sungai itu adalah rejeki juga, yang mana kita bisa mandi karenanya, menyuci pakaian, dan tentu juga buang hajat. Dan tentu saja kalau malam, kita bisa menghabiskan waktu bersama-sama di dalam rumah sambil mendengarkan gemericik airnya.
Saya juga suka merasa bersalah, yang mana saya tak bisa memberikan kebahagian padamu, hidup kita kok ya begini-begini saja dari dulu, bahkan tambah parah ketika kau terpaksa keluar dari pabrik karena alasan krisis pada 1998 yang lalu—tanpa wang pesangon.
Yah, karenanya kau terpaksa kau ambil upahan nyuci pada tetangga-tetangga kita.
Butet,
Saya tak bisa bilang apa-apa, ketika kau pergi pagi-pagi ke pajak (pasar), sebelum lagi saya bangun, dan pulang-pulang membawa kepala ikan tongkol. Ketika saya mau berangkat membecak, nasi hangat + gulai kepala tongkol sudah ada. Ketika satu kali saya bilang, “Enak ini Tet, tiap hari awak kena tongkol!” kau bilang sambil tersenyum-senyum, “Syukurlah, Bang! Tongkol itulah yang gratis di pajak, tapi harus subuh-subuh mengambilnya, sebelum dibuang mereka untuk mengumpani babi,”
Saya hampir tersedak. Bukan karena tak selera. Tapi karena sampai segitulah pengorbananmu pada rumah tangga kita.
Tet,
Saya tak bisa berlama-lama, berpanjang-panjang dengan surat cinta saya yang pertama ini, walaupun mestinya masih banyak cerita yang bisa saya ceritakan—pengalaman kita bersama selama ini. Ada penumpang yang minta diantarkan ke pajak. Langganan saya.
Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan.
Mesjid Raya Medan, 18 Juli 2011
Suamimu,
Bang Kasmin
Yang mana begitulah surat cinta saya yang pertama untuk isteri saya, yang mana telah saya kirimkan dengan meletakkannya dekat dapur di atas meja tempat meletakan bumbu-bumbu dapur—dekat tungku tempat ia menanak nasi. Yang mana setelah itu saya pun berangkat kerja, sebelum Butet pulang dari pajak, yang mana hari itu memang saya harus pergi cepat, karena ada langganan yang minta diantarkan ke pajak sambas, pagi-pagi benar.
Ketika menjelang maghrib yang mendung, saya pulang ke gubuk kami. Saya lihat isteri saya menyambut dengan senyum terindahnya. Saya menduga pastilah dia telah membaca surat cinta saya itu. Apalagi ketika masuk saya langsung disuguhin secangkir kopi.
“Minumlah, Bang! Biar hangat badanmu,” katanya.
“Makasih, Tet! Baik kali isteri awak ini,” kata saya.
“Alah abang ini!” katanya.
Butet lalu pergi ke dapur, menyiapkan segala sesuatu untuk makan malam kami. Saya menyusul, pura-pura membantu, membuka bungkus Indomie rasa kari ayam, dan mematah empat isinya, padahal niat saya mau bertanya, bagaimana tanggapannya terhadap surat cinta saya—dan apakah sudah ada balasannya.
“Tet, sudah kau baca surat cinta awak?”
“Surat cinta!?”
“Ya. Surat. Surat cinta awak untuk butet!”
“Kemasukan apanya kau, bang!” kata butet tak percaya, karena memang ngapain pulak saya harus mengirimkan surat cinta lagi, tokh mereka sudah menikah sejak—sebagai cerita-cerita dongeng—dulu kala.
“Sadar awak, Tet! Tadi suratnya saya letakkan di sini,” kata saya menunjukkan meja di sebelah tungku.
“Bah, itu surat cinta yang abang bilang?”
“Iya itulah! Cemana menurutmu?”
“Sudah awak bakar bang, bukan tak suka, tapi karena awak tak tahu itu surat cinta abang, saya bikin pemancing api untuk menjerang air tadi pagi,” kata isteri saya, sekarang dengan wajah agak cemas.
“Owalah, Tet!”
Saya tak marah. Tapi malah berpikir menyalahkan diri sendiri, yang mana kok saya surprise-suprisan. Surat itu sekarang sudah jadi abu. Yang mana isteri saya telah menyulutnya bersama kayu api. Yang mana juga karena ia sudah tak lagi pakai kompor minyak tanah, karena barang yang saya sebut terakhir sudah mahal harganya. Yang mana juga kami tak dapat kompor gas konversi dari kelurahan, yang mana kami tak terdaftar. Jadilah Butet tiap hari mengumpulkan kayu yang hanyut di Sungai Deli, menjemurnya, dan menggunakannya sebagai kayu bakar. Dan sebagai pemancing api, Butet memang biasa menggunakan kertas, dan pagi tadi, surat cinta saya itu lah yang dekat dari jangkauannya sebagai pengumpan api untuk menjerang air.
“Maaf ya, bang!” kata Butet sambil memasukan indomie ke kuali.
“Tak apa, Tet!”
Malam itu kami makan Indomie pake telor. Sedap. Apalagi setelah sebulan makan kepala tongkol melulu. Saya sampai tambuh nasi tiga kali. Kekenyangan. Setelah menghabiskan sebatang gudang garam merah sambil bercerita-cerita, kami pun siap-siap tidur di atas tikar di dalam kelambu.
“Tak marah abang kan soal surat tadi?” kata isteri saya sambil memeluk dari belakang.
“Tidaklah,” kata saya membalikkan badan dan kini membalas memeluknya. Yang mana juga mencium keningnya.
Kami kembali seperti muda lagi. Hujan rintik dari langit Medan. Air Sungai Deli semakin jelas terdengar—mengalir sampai ke Belawan. Dalam pelukannya, saya sadar kembali: Isteri saya memang tak butuh hidup yang rumit, cinta yang rumit, bahkan tak butuh surat cinta!
Hujan semakin deras di luar. Semoga Deli tak banjir. Biar keringat kami saja yang banjir malam itu. [*]
JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.
Sumber
0 comments: