Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah 
Banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri sering kali   diabaikan oleh para suami. Padahal jika kita runut, percikan konflik   dalam rumah tangga berakar dari diabaikannya hak-hak istri/suami oleh   pasangan mereka. Lalu apa saja hak-hak istri yang mesti ditunaikan   suami?
1. Mendapat mahar
Dalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita   yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah   Subhanahu wa Ta’ala:
 وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4)
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً“…berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (An-Nisa`: 24)
Dari As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu   ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang   shahabatnya yang ingin menikah sementara shahabat ini tidak memiliki   harta:
 انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ“Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu,   walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim   no. 3472)2
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin (ulamanya)   telah sepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan.”   (Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)
Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan   memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat.   Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau   selain mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si   wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ  وَآتَيْتُمْ  إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا  أَتَأْخُذُوْنَهُ  بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِيْنًا“Dan jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri  yang  lain3, sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di  antara  mereka (istri tersebut) harta yang banyak4, maka janganlah  kalian  mengambil kembali dari harta tersebut walaupun sedikit. Apakah  kalian  akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan  dengan  menanggung dosa yang nyata?” (An-Nisa`: 20)
2. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak mulia Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ  فَعَسَى أَنْ  تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا  كَثِيْرًا“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak   menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai   sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”   (An-Nisa`: 19)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik  akhlaknya,  dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap  istri-istrinya.”  (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam  surah  An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian  terhadap  mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan  kalian  sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri)  berbuat  demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama.  Allah  Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya   (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian   terhadap keluarga (istri)-ku.”
Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat  baik  pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa  berseri-seri,  suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri,  bersikap  lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal  nafkah  serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah  mengajak  ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba (lari),  dalam rangka  menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.”  (Tafsir Ibnu  Katsir, 2/173)
Masih keterangan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “(Termasuk cara   Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperlakukan para   istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para   istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga   terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka.   Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau   pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau   meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah   shalat ‘Isya, biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah   dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna   menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
3. Mendapat nafkah dan pakaian Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya:
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian   kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)
Demikian pula firman-Nya:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ   فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا   آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai  dengan  kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka  hendaklah ia  memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. .”  (Ath-Thalaq:  7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam  surah  Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah  wajib bagi  seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang  melahirkan  anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu  sesuai dengan  kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa  diterima/dipakai oleh para  wanita semisal mereka, tanpa  berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi,  sesuai dengan kemampuan suami  dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir  Ibnu Katsir, 1/371)
Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa   hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah   kami bawakan di atas. Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,   ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah radhiyallahu ‘anha, istri Abu   Sufyan radhiyallahu ‘anhu datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu   ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ  وَلَيْسَ  يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ  مِنْهُ وَهُوَ  لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ  بِالْمَعْرُوْفِ“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit5. Ia tidak   memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku   mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya6.” Bersabdalah Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar   yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.”   (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini ada   beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada istri.”   (Al-Minhaj, 11/234)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah  di  hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa   Ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:
أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ  عَوَانٌ  عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ  إِلاَّ  أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ   فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ   مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً،   أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ   حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ   تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ،   أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ   كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita   (para istri)7 karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian.   Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu8,  terkecuali  bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata9. Maka bila  mereka  melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan  pukullah  mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka  menaati  kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka.  Ketahuilah,  kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka  pun memiliki  hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah  mereka tidak  boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak  permadani  kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian  benci untuk  masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian  adalah  kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan  makanan  mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841,  dihasankan  Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan  At-Tirmidzi)
Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban   sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada   istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain   ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’   (kesepakatan ulama).
Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:
 لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ  رِزْقُهُ  فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا  إِلاَّ مَا  آتَاهَا“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai  dengan  kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka  hendaklah ia  memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.”  (Ath-Thalaq: 7)
4. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggal Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (An-Nisa`: 19)
adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat  tinggal.  Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya  tempat  tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata  manusia yang  tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak  serta  memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana   layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan  sesuai  kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.
5. Wajib berbuat adil di antara para istri Bila seorang suami memiliki lebih dari satu istri, wajib baginya  untuk  berlaku adil di antara mereka, dengan memberikan nafkah yang  sama,  memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam. Keharusan  berlaku  adil ini ditunjukkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَ
انْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى  وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ  فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ  مَا مَلَكَتْ  أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُوْلُوا“…maka nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau   empat. Namun jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara   para istri nantinya maka nikahilah seorang wanita saja atau dengan   budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat   bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain dari hadits Abu Hurairah   radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi  wa sallam:
مَ
نْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ“Siapa yang memiliki dua istri10 lalu ia condong (melebihkan secara   lahiriah) kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat   nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad 2/347,   Abu Dawud no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani  rahimahullahu  dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil dari seorang   suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari yang lain.   Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di antara   istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku adil,  seperti  dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian   giliran. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, datangnya si suami  dalam  keadaan seperti yang digambarkan dalam hadits disebabkan ia tidak   berlaku adil di antara dua istrinya, menunjukkan berlaku adil itu  wajib.  Kalau tidak wajib niscaya seorang suami tidak akan dihukum  seperti itu.  (As-Sailul Jarar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada`iqil Azhar,  2/314)
Keharusan berbuat adil yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada suami ini tidaklah bertentangan dengan firman-Nya:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ  وَلَوْ  حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيْلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا   كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ   غَفُوْرًا رَحِيْمًا“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara   istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian,   karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian   cintai sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung.”   (An-Nisa`: 129)
Karena adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di antara  para  istri dalam perkara yang dimampu oleh suami. Adapun adil yang  disebutkan  dalam surah An-Nisa` di atas adalah berbuat adil yang kita  tidak mampu  melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan hati  dan cinta.
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu  berkata,  “Kalian, wahai para suami, tidak akan mampu menyamakan di  antara  istri-istri kalian dalam hal rasa cinta di hati kalian kepada  mereka,  sampai pun kalian berusaha adil dalam hal itu. Karena hati  kalian tidak  bisa mencintai sebagian mereka sama dengan yang lain.  Perkaranya di luar  kemampuan kalian. Urusan hati bukanlah berada di  bawah pengaturan  kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil di  antara mereka.”  (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)
Masih kata Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu, “Maka janganlah kalian   terlalu cenderung (melebihkan) dengan hawa nafsu kalian terhadap istri   yang kalian cintai hingga membawa kalian untuk berbuat dzalim kepada   istri yang lain dengan meninggalkan kewajiban kalian terhadap mereka   dalam memenuhi hak pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan ma’ruf.   Akibatnya, istri yang tidak kalian cintai itu seperti  terkatung-katung,  yaitu seperti wanita yang tidak memiliki suami namun  tidak juga  menjanda.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)
Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil dalam perkara jima’,   karena jima’ ini didorong oleh syahwat dan adanya kecondongan. Sehingga   tidak dapat dipaksakan seorang suami untuk menyamakannya di antara   istri-istrinya, karena hatinya terkadang condong kepada salah seorang   istrinya sementara kepada yang lain tidak. (Al-Mughni Kitab ‘Isyratun   Nisa`, Al-Majmu’, 16/433)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Jima’ bukanlah termasuk  syarat  dalam pembagian giliran. Hanya saja disenangi bagi suami untuk   menyamakan istri-istrinya dalam masalah jima’….” (Al-Majmu’, 16/433)
6. Dibantu untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjaganya dari api neraka dan memberikan pengajaran agama Seorang suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya,  terlebih  lagi bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang  mencukupi,  dimulai dari meluruskan tauhidnya dan mengajarkan  amalan-amalan ibadah  yang lainnya. Sama saja baik si suami mengajarinya  sendiri atau  membawanya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan  keluarga  kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan  batu….”  (At-Tahrim: 6)
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang mulia ini adalah  dengan  cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu  mereka  untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta melarang  mereka  dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari  keluarganya  tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhanahu wa  Ta’ala. Bila  ia mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan   diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma’ani,   138/780,781)
Hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu juga menjadi dalil   pengajaran terhadap istri. Malik berkata, “Kami mendatangi Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda   yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh   malam. Kami mendapati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah   seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu,   beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama   berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka   cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau   bersabda:
ا
رْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَمُرُوْهُمْ“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah  mereka  dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (HR. Al-Bukhari  no. 630  dan Muslim no. 1533)
Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada istrinya agar si  istri  berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam Islam. Si istri  dilarang  bertabarruj, ikhtilath, dan keluar rumah dengan memakai  wangi-wangian,  karena semua itu akan menjatuhkannya ke dalam fitnah.  Apatah lagi  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا بَعْدُ، قَوْمٌ  مَعَهُمْ  سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ،  وَنِسَاءٌ  كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ  كَأَسْنِمَةِ  الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ  يَجِدْنَ  رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا  وَكَذَا“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku   lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor  sapi  yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang   berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan   orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang   miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium   wangi surga, padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan   sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)
7. Menaruh rasa cemburu kepadanya
Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan   perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan   istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan   sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian   atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.
Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan   memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan  dapat  mengeluarkannya dari kemuliaan.
Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:
لَ
وْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفِحٍ“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku   akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya  (yang  tumpul)11.”
Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi   Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelanya. Bahkan beliau Shallallahu   ‘alaihi wa sallam bersabda
 أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih   cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR.   Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menyebutkan, dalam   hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam   Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dikisahkan bahwa tatkala turun ayat:
 وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا  بِأَرْبَعَةِ  شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ  تَقْبَلُوا لَهُمْ  شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian  mereka  tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian  mencambuk  mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima  persaksian mereka  selama-lamanya.” (An-Nur: 4)
Berkatalah Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah demikian ayat   yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha   istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan   empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi   sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”
Mendengar ucapan Sa’d, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam   bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar   apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”
Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau   mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia   tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu   masih gadis. Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada   seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut   karena cemburunya yang sangat.”
Sa’d berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa  ayat  ini benar dan datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan  tetapi  aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/348)
Sumber:
http://asysyariah.com
http://ustadchandra.wordpress.com