 Dakwah tak cukup dengan ceramah, tapi perlu dengan kerja nyata dan  mem bangun relasi dengan semua pihak, termasuk komunitas non-Muslim.
Dakwah tak cukup dengan ceramah, tapi perlu dengan kerja nyata dan  mem bangun relasi dengan semua pihak, termasuk komunitas non-Muslim. Dai asal Indonesia, Ustaz Syamsi Ali, menorehkan prestasi dakwah yang cukup gemilang di Amerika, tepatnya di New York. Menurutnya, menjadi seorang imam di AS telah memberikan nilai tambah tersendiri, mengingat komposisi komunitas Muslim di negara adidaya itu didominasi oleh tiga kelompok, yaitu dari Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika termasuk Afro Americans.
Menurutnya, justru karena berasal dari Indonesia, ia malah mendapat banyak kemudahan untuk bergerak ke semua jantung komunitas itu. ”Saya mudah diterima oleh warga Arab, Asia Selatan, dan Afrika,” katanya.
Karena banyaknya jumlah umat Islam dari tiga kawasan di AS itu, sejauh ini masyarakat Amerika masih mempersepsikan Islam dengan Timur Tengah, Asia Selatan, atau Afrika. Namun, keberadaan Syamsi Ali di AS, seperti yang diakuinya, secara langsung banyak mengubah persepsi itu.
Syamsi merasa bangga dapat mewakili negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia. Dalam berbagai forum pun, ia tidak canggung-canggung untuk tampil dan memberikan kontribusi. ‘’Hal itu saya lakukan untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara besar,’’ katanya kepada Ali Rido dari Republika. Berikut penjelasan Syamsi Ali tentang latar belakang dakwah dan kiprahnya membangun komunitas Muslim di Amerika.
Bagaimana perjalanan dakwah Anda hingga sampai ke New York, AS?
Setamat dari Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah di Makasar 1988, saya melanjutkan studi ke luar negeri, tepatnya di Islamabad, Pakistan. Cukup lama, dari tahun 1988 hingga 1994. S1 di bidang Tafsir dan S2 di bidang Perbandingan Agama.
Setamat dari Pakistan, tiba-tiba saya mendapat tawaran untuk menjadi guru  di sebuah institusi dakwah di kota Jeddah, Arab Saudi, tahun 1994. Di  sinilah saya mulai banyak berinteraksi dengan non-Muslim. Hampir 50  persen penduduk kota Jeddah itu adalah non-Muslim.
Di akhir kontrak saya sebagai pengajar di Jeddah, di salah satu musim  haji, saya diminta oleh KJRI Jeddah untuk mengisi pengajian manasik haji  untuk haji luar negeri di KJRI. Kebetulan yang hadir ketika itu adalah  Bapak Dubes, Nugroho Wisnumurti, Wakil Tetap RI untuk PBB di New York. Saat itu, beliau juga kebetulan menjadi penasihat pengurus Masjid Indonesia di New York. Beliaulah yang sebenarnya menawarkan saya, jika saya berminat ke Amerika, tepatnya di kota New York.
Maka, di awal tahun 1996 saya pun menginjakkan kaki di Amerika sebagai staf di PTRI New York. Di sinilah kemudian saya mengembangkan sayap ke berbagai kegiatan dakwah. Saya mulai membina masyarakat Muslim Indonesia di masjid Al-Hikmah –masjid masyarakat Indonesia–, menjadi Ketua Pawai Tahunan Muslim, mendirikan Imams Council, dan lain-lain.
Bekal ilmu apa saja yang Anda perlukan untuk berdakwah di New York?
Tentu ilmu-ilmu dasar terkait dengan Islam. Alquran dan sunah merupakan  keharusan bagi semua dai di mana saja mereka melakukan  kewajibannya.Tapi, untuk Amerika Serikat dan tentunya Eropa secara umum,  ilmu syar’i sangat tidak cukup jika tidak dibarengi dengan ilmu-ilmu  ‘realita’ lainnya. Maksud saya, seorang dai di AS harus mampu membekali  diri dengan pengetahuan yang cukup tentang lingkungan dan bagaimana  berinteraksi dengan lingkungan tersebut.
Orang-orang Amerika tentunya punya bahasa, tidak hanya bahasa  komunikasi, tetapi juga yang paling penting adalah bahasa kultur,  politik, bahkan bahasa ekonomi, dan pasar. Seorang dai di AS tidak  dibatasi oleh dinding-dinding masjid, tapi menuntut pergaulan yang luas  dan luwes, sehingga ajaran Islam ini dengan mudah terserap ke mindset  yang sesuai.
Selain memberikan ceramah keagamaan, apa saja aktivitas Anda?
Ceramah bukan kegiatan utama saya dalam berdakwah. Ceramah saya dalam  dakwah ini tidak lebih dari 25 persen. Justru yang paling banyak adalah  membangun fondasi komunitas Muslim Amerika.
Tugas membangun fondasi ini dilakukan dalam banyak bentuk. Mulai dari  merancang program untuk komunitas, terutama untuk anak-anak muda dan  remaja, membangun networking antarkomunitas Muslim dengan berbagai  ragam, kurikulum sekolah Islam, termasuk weekend  school, hingga kepada kegiatan yang bersifat sosial budaya, seperti  pawai tahunan Muslim kota New Yok yang dihadiri ribuan umat setiap  tahunnya.
Namun, di antara kegiatan saya yang paling menonjol dan tidak banyak  dilakukan oleh pemimpin Muslim lainnya adalah membangun relasi dengan  komunitas lainnya. Saya di Kota New York memang dikenal sebagai sosok imam yang mampu menembus batas-batas ras, suku, dan agama. Artinya, saya dekat dengan semua Muslim dari beragam suku dan latar belakang.
Bagaimana hubungan Anda dengan tokoh-tokoh agama lain?
Di New York, saya dikenal aktif di kegiatan lintas iman. Sejak peristiwa  11 September, saya melihat bahwa tidak mungkin umat ini akan mampu  menyelesaikan ‘miskonsepsi’ hanya dengan ceramah di mimbar-mimbar  masjid. Dan tidak mungkin akan bisa diselesaikan dengan mengandalkan  diri sendiri. Kita perlu reaching out ke berbagai pihak, dan bahkan perlu membangun kerja sama dalam rangka merubah ‘miskonsepsi’ tersebut.
Saya kemudian melakukan komunikasi dengan tokoh-tokoh Kristen, Katolik, bahkan Yahudi di kota New York.  Selama hampir 10 tahun terakhir, sudah banyak kegiatan antaragama yang  pernah saya lakukan. Di antaranya adalah mewakili umat Islam dalam acara  Pray for America di Yankee Stadium dan Diskusi Pembangunan Berkesinambungan di Gedung Putih dengan para pemimpin agama lainnya.
Sejak tiga tahun terakhir, saya mencoba membangun relasi dengan  tokoh-tokoh Yahudi. Tujuannya adalah mencoba menepis anggapan bahwa umat  ini membenci Yahudi karena agamanya. Saya kira kita semua sepakat bahwa  konflik Timur Tengah merupakan akar permasalahan antarkedua komunitas  ini.
Jadi, hubungan saya dengan tokoh-tokoh agama lainnya, Yahudi, Kristen,  Katolik, bahkan Hindu dan Buddha, sangat baik. Mereka memiliki  confidence terhadap saya sehingga saya diberikan kesempatan luas untuk  memberikan ceramah agama di institusi-institusi yang mereka miliki.
Sikap pemerintah AS terhadap kegiatan dakwah Anda?
Salah satu keunikan utama AS adalah penghormatan sepenuhnya kepada semua  orang untuk melakukan agamanya bahkan mengampanyekan (jika istilah ini  cocok) dengan agama masing-masing. Oleh karenanya, berdakwah di AS dijamin oleh undang-undang, selama itu dilakukan dalam koridor hukum yang ada.
Saya tidak mengingkari adanya pihak-pihak yang mungkin khawatir dengan  perkembangan Islam di AS. Tapi, saya juga yakin bahwa pemerintah AS  tidak akan melakukan sesuatu yang nantinya dianggap diskriminatif  terhadap agama tertentu.
Anda tentu dituntut untuk menjelaskan hakikat Islam kepada masyarakat  non-Muslim. Bagaimana Anda menjelaskan hal ini pasca peristiwa 11  September?
Partama, kita perlu perjelas sekali lagi bahwa peristiwa 11 September  adalah tragedi kemanusiaan. Semuanya, termasuk umat Islam harus  mengutuknya. Namun, respons yang terjadi kemudian, termasuk perang Irak,  adalah tragedi kemanusiaan yang seharusnya ditentang bersama. Apa yang  dilakukan oleh Presiden Bush ketika itu jelas-jelas bertentangan dengan  hukum, termasuk hukum AS sendiri dan hukum internasional.
Selanjutnya, kita pahami bahwa tingkat kesalahpahaman kepada agama dan  komunitas Muslim sangat tinggi setelah 11 September. Untuk itu,  menghadapinya bukan sekedar ceramah-ceramah konvensional di  masjid-masjid, tetapi memerlukan pendekatan komprehensif dan dengan  profesionalitas yang matang.
Apa yang selama ini saya lakukan, selain tentunya melakukan berbagai  pendekatan pendidikan, seperti ceramah-ceramah di gereja, sinagog,  sekolah-sekolah dan bahkan kantor-kantor pemerintahan, juga kami lakukan  pendekatan kepada media yang kira-kira ‘less hostile’.
Selain itu, saya buktikan dengan kerja nyata dalam membangun relasi  dengan komunitas lain. Penjelasan bahwa Islam itu bersahabat tak cukup  dengan ceramah, tapi perlu dengan kerja nyata dengan membangun relasi  dengan semua, termasuk komunitas non-Muslim.
Memang tidak mudah, tapi alhamdulillah, upaya-upaya kita selama ini  sudah mulai menampakkan hasilnya. Saya lebih optimistis lagi bahwa dalam  tahun-tahun ke depan, Islam akan semakin dikenal dan kaum Muslimin di  satu sisi juga akan menyadari urgensi untuk membangun relasi dengan para  tetangganya.
Di mana letak perubahan kehidupan keagamaan masyarakat Muslim New  York, dari sebelum Anda berdakwah dan setelah Anda berdakwah di tengah  mereka?
Barangkali ada dua hal yang mendasar dari perubahan itu. Pertama, bahwa  tragedi 11 September mengubah prilaku umat, khususnya dalam menyikapi  tetangga-tetangga non-Muslim. Sebelum 11 September, masjid-masjid yang  ekslusif cenderung tidak membuka diri dengan tetangga.
Hal ini menjadikan banyak tetangga yang kemudian curiga terhadap mereka  dan kegiatan mereka. September 11 mengubah semua itu. Masjid-masjid  membuka diri, berbagai kegiatan lintas iman diadakan secara rutin.
Kedua, tragedi 11 September juga merubah komposisi masyarakat Muslim AS.  Sebelum peristiwa itu, pertumbuhan masyarakat Muslim masih didominasi  oleh imigrasi Muslim dari negara-negara Muslim. Tapi, setelah peristiwa  tersebut, peraturan imigrasi diperketat oleh pemerintah AS.
Namun sebaliknya, justru banyak masyarakat Amerika yang masuk Islam.  Bagi saya, ini sebuah tren yang baik karena generasi baru Islam bukan  lagi imigran, yang biasanya selalu merasa jadi tamu di negara sendiri.
Kedua kecenderungan itu semakin menambah solidaritas masyarakat Muslim  Amerika, dan bahkan saya yakin bahwa ke depan Muslim Amerika akan  menjadi bagian integral masyarakat Amerika yang memberikan kontribusi  positifnya. Ini sudah mulai tampak di berbagai tingkatan kehidupan, baik  di bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, maupun keilmuan dan  militer.
Bagaimana Anda yakin masyarakat Muslim AS bisa berkontribusi positif dalam membangun negaranya?
Kalau kita mempelajari sejarah imigran di Amerika, seperti imigran  Yahudi, Italia, Irish, dan lain-lain maka imigran Muslim sebenarnya  berada pada posisi yang sangat menguntungkan. Puncak tantangan bagi  masyarakat Muslim adalah 11 September. Namun, dengan lancar dan dalam  waktu yang singkat semua itu dapat dilalui dengan baik.
Misalnya, bandingkan dengan imigran Yahudi. Hingga ratusan tahun mereka  harus hidup dalam suasana yang tidak menyenangkan. Apa yang disebut  antisemitic ketika itu sangat tinggi, dan mereka diperlakukan sangat  tidak manusiawi. Tapi kini, mereka menjadi masyarakat yang terhormat.
Maksud saya, ini hanya masalah waktu saja. Sebenarnya kalau kita melihat  komposisi masyarakat Amerika dari sudut pengelompokan agama, umat Islam  berada pada posisi yang menyenangkan. Rata-rata relatif muda, terdidik,  memiliki penghasilan yang rata-ratanya lebih tinggi dari rata-rata  penghasilan masyarakat Amerika. Yang lebih penting, mereka sudah  memainkan peranan sosial politik yang cukup menentukan. Ada dua orang  anggota Kongres yang Muslim, yaitu penasihat presiden Obama dan seorang  wanita keturunan Mesir.
Saya sangat optimis, seiring Islam yang sudah mulai dipersepsikan oleh  masyarakat Amerika secara lebih positif, umat Islam akan dengan lancar  menjalin proses ‘integrasi positif’ ke dalam mainstream Amerika. Pada  akhirnya akan memberikan kontribusi-kontribusinya secara positif kepada  negara dan bangsa ini di masa depan.
Sumber berita : Koran republika online
 
No comments:
Post a Comment