SEKILAS TENTANG IMAM HANBALI
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali  dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000  hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama  sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat  sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul  Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh  sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30  ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja.  Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama  yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin  Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal  dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur’an dan  ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat  seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya  antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik,  Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda  mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan  dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali  mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh  perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama.  Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah  dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai  seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali  dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya  pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang  jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima  orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said.
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan.  Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya  menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ”Hampir setiap hari ia  berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak  shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,” katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama  ahli fikih, berkata, ”Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku  diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, ‘Ini adalah rezeki  yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.”’
Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya,  aliran Mu’tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma’mun dari  Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi  negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan  penganut Mu’tazilah adalah paham Al-Qur’an merupakan makhluk atau  ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.
Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia  pun dipenjara dan disiksa oleh Mu’tasim, putra Al Ma’mun. Setiap hari ia  didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq  menggantikan ayahnya, Mu’tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap  Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat umat makin  bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia  mendekam dalam penjara.
Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al  Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya.  Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok  belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam  Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu  Zur’ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar  Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi’i, Hanafi dan Maliki, oleh  para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan  dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai  pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada  masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima  landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab  Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur’an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash,  maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak berpaling  pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang  menentangnya.
Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat  yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Jika  ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur’an  dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi  mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya.
Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak  disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun  bukan ‘maudu’, atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif  didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias  digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada  abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi  pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan  Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak  orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya  dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam  di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan  keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain  Tafsir Al-Qur’an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur’an, At Tarikh,  Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad  Ahmad bin Hanbal.
Sumber: www.kotasantri.com
 



 
 
 
 
 
 
 
 






0 comments: