Ujian Pakai Mesin Tik, Jadi Sumber Contekan

Kehilangan Penglihatan, Mimi Mariani Lusli Tetap Gigih di Dunia Pendidikan
CERIA: Mimi Lusli tampak ceria saat ditemui di Mimi Institute Kompleks Taman Harapan Indah, Jakbar, Selasa (27/9).

Meski kehilangan indra penglihatan pada usia sepuluh tahun, Mimi Mariani tidak mau diperlakukan khusus. Ingin membuka jurusan disability di perguruan tinggi.

DHIMAS GINANJAR, Jakarta

ORANG yang belum mengenal Mimi Mariani Lusli pasti tidak menyangka bahwa perempuan kelahiran 17 Desember 1962 itu tunanetra. Maklum, dia terlihat percaya diri dengan penampilannya yang selalu modis. Dia juga tidak menggunakan tongkat saat berjalan.

Ketika berbincang, dia juga seakan memperhatikan lawan bicaranya. Si lawan bicaranya pun pasti dengan gampang bakal bisa menebak bahwa Mimi adalah perempuan berpendidikan tinggi.

“Saat ini, saya mengambil gelar doktor di Vrije Universiteit, Amsterdam, yang memiliki kerja sama dengan Universitas Indonesia,” ujarnya.

Yang lebih istimewa, seluruh jenjang pendidikan hingga memburu gelar kedoktoran di Faculty of Earth and Life Sciences itu ditempuh dengan jalur layaknya orang yang berpenglihatan normal.

Cara Mimi kuliah juga sama, berbaur bersama mahasiswa lain. Hilangnya indra penglihatan perempuan bernama lengkap Veronika Laetitia Mimi Mariani Lusli itu berawal ketika dirinya duduk di bangku SD Candranaya, Jakarta Barat.

Pandangannya mulai kabur saat dia duduk di kelas V SD. Katanya, dia mengalami penyakit genetis retinitis pigmentosa atau penyakit degenerasi retina.

Penyakit yang cenderung menurun secara genetis itu mengakibatkan degenerasi fotoreseptor retina secara bertahap. Hingga akhirnya, pada usia 17 tahun, Mimi benar-benar kehilangan indra penglihatan.

Jauh sebelumnya, tepatnya sejak kelas V SD, dia tidak duduk di bangku sekolah. Saat kakak dan adiknya pergi bersekolah, Mimi kecil harus menjalani perawatan di dokter mata dan dokter saraf.

Selama proses itu berjalan, dia akhirnya bersekolah di Sekolah Tunagrahita Bakti Luhur, Malang, Jawa Timur. “Saat lulus, saya merasakan sendiri bagaimana sulitnya mencari sekolah lagi bagi tunanetra,” imbuhnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan setara SMP di Malang pada 1982, Mimi melanjutkan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Santa Maria (1982-1985).

Gelar sarjana baru dia peroleh empat tahun kemudian di IKIP Sanata Dharma, Jogja. Dilanjutkan Master of Sains di Universitas Indonesia (UI) dan lulus pada 1997. Ada kisah lucu saat dia duduk di bangku kuliah, terutama ketika ujian datang. Mimi yang terbatas dalam melihat itu justru menjadi sumber contekan bagi teman-temannya.

Bagaimana tidak, Mimi yang menyelesaikan soal ujiannya melalui mesin tik itu selalu duduk paling depan. “Mesin tik memang memudahkan saya saat itu,” terangnya.

Nah, tipikal kertas yang dimasukkan ke dalam mesin tik yang selalu berdiri tegak membuat jawaban Mimi mudah dilirik temannya. Terutama saat ujian yang bersifat multiple choice.

Tanpa malu-malu, temannya yang memiliki pancaindra lengkap justru memanfaatkan hal itu untuk mencontek. Lama-kelamaan ketahuan, akhirnya saya dipindah ke bangku paling belakang,” kenangnya.

Keterbatasan justru membuat dirinya memiliki banyak teman. Bagaimana tidak, Mimi dikenal paling rajin untuk membaca diktat dan memiliki kemampuan mengingat yang tinggi. Tidak jarang, dia dimintai saran untuk mengerjakan tugas.

Dia pun memperoleh manfaat dari pertemanan itu. Sebab, bagaimanapun, dia tetap membutuhkan pertolongan. Terutama, saat ada tugas, Mimi harus bekerja sampai tiga kali dibanding teman-temannya.

Pertama, dia meminta temannya membacakan buku. Kedua, dia membuat jawabannya melalui huruf braille. Terakhir, dia meminta temannya menerjemahkan jawabannya ke huruf latin.

Keseriusannya bersekolah membuat Mimi memperoleh beasiswa dari British Council untuk studi Master of International Communication di Leeds University, Inggris.  Setelah itu, dia sempat tercatat sebagai satu-satunya dosen tunanetra di Universitas Atmajaya, Jakarta.

“Sekarang sudah bukan dosen tetap, lebih banyak jadi dosen tamu,” urainya.

Karirnya di dunia pendidikan tidak berhenti di situ. Berawal dari keprihatinannya terhadap tunanetra atau anak berkebutuhan khusus (ABK) yang tidak bisa berbuat apa-apa, Mimi pun berinisiatif mendirikan sebuah tempat konseling. Dia menamai tempat itu Mimi Institute yang diberi tagline: Mainstreaming Disability for Better Life. Lembaga yang didirikan pada Desember 2009 tersebut bertujuan membiasakan isu kecacatan ke lingkungan.

Manfaatnya, agar lingkungan lebih ramah terhadap ABK. Dengan demikian, mereka tidak perlu lagi disembunyikan oleh keluarga. “Kalau bicara perempuan, pasti ada yang cacat. Bicara anak, pasti ada yang cacat,” jelasnya.

Pemberdayaan orang cacat yang difokuskan di Kompleks Taman Harapan Indah, Jakarta Barat, itu dilakukan dengan tiga cara. Yakni, konsultasi, pelatihan, dan publikasi. Di tempat belajar yang diwarnai ornamen khas anak kecil itu, Mimi dan timnya berusaha membesarkan ABK dan orang tuanya.

Orang tua dibesarkan hatinya supaya tidak lagi malu memiliki anak cacat. Juga, diajari cara untuk lebih bersabar dalam mendidik ABK, termasuk agar tidak terlalu memanjakannya. Sebab, sang anak justru akan semakin sulit diajari sesuatu. “Sedikit-sedikit sudah merengek. Kami jadi sulit mengajari,” ungkapnya.

Apalagi, orang tua yang datang ke Mimi Institute didominasi mereka yang mengaku sudah lelah mengurus ABK. Hal itu menyayat hati Mimi karena ABK masih dinilai sebagai anak yang merepotkan. Susahnya, orang tua juga tidak memiliki komitmen untuk mendidik anaknya. “Di sini tega, tapi sampai rumah tidak tega,” ujarnya.

Anak pasangan Kuswandi Lusli dan Yuliawati itu sebenarnya ingin orang tua bisa berkomitmen. Sebab, proses perubahan ABK ke arah yang lebih baik membutuhkan waktu cukup lama. Pelatihan intensif bisa memakan waktu minimal tiga bulan, enam bulan, hingga tiga tahun. (*/c5/ttg)

Sumber

0 comments: